COVER-ARTIKEL
COVER-ARTIKEL

Puisi Tentang Sebatang Rokok

Seniman genius yang menjadi salah satu tonggak dalam kepenyairan di Indonesia ini memang terkenal sebagai seorang perokok berat.

Dari banyaknya seniman yang terlahir di Indonesia, ada satu yang menarik perhatian semapai sekarang adalah Chairil Anwar, ia termasuk seniman yang genius, kontribusi karya-karyanya sangat besar dalam budaya dan sastra di Indonesia.

Puisi Chairil Anwar bukanlah puisi yang iseng sendiri. Ruh puisinya telah mengembara jauh. Mengepakkan sayapnya tinggi, berdengung hingga bertahun-tahun. Puisi-puisinya adalah jejak yang terus terpantul, dikuliti jauh meninggalkan penyairnya sendiri. Dengan berbagai tema ang diudapnya, puisi-puisinya merupakan perkembangan bahasa Indonesia yang dahsyat. Mendekati 100 tahun setelah hari lahirnya, 26 Juli 1922, puisi-puisinya tetap meninggalkan jejak di benak pembaca, ataupun penyair. Ialah sang penemu itu. Eureka!

Rokok dan Chairil Anwar adalah dua hal yang tak pernah terpisahkan dan menjadi teman dalam mahirkan bait-bait puisinya yang tidak pernah dilupakan.

Kenyataan kedekatan Chairil dengan Rokok ini sampai memunculkan anekdot: “Jika Chairil Anwar tidak merokok, bisakah dia menjadi seorang jenius seperti kita kenal sekarang?” atau “Seandainya Chairil Anwar tidak merokok, tapi ngevape, mungkin puisi yang ia bikin pasti melulu tentang senja”.

Majalah Tempo edisi kemerdekaan menjadi perhatian yang menghadirkan sampul depan yang bergambar Chairil Anwar tanpa rokok ditangannya. Ilustrasi itu menjadi kontroversi. Chairil memang dikenal karena karya-karyanya, namun yang tidak mengenal krya dan kiprahnya, paling tidak mengenal foto yang menghisap rokok dengan penuh makna.

Namun dalam penerbitan itu apapun alasan Tempo memasang ilustrasi Chairil tanpa sebatang rokok dimulutnya, entah karena mungkin mereka memerangi asap rokok yang konon telah membunuh sekian ribu jiwa dalam sehari. Jika benar dengan alasan tersebut, tentu saja itu masuk dalam kerja budaya. Tempo, bisa jadi mengubah steoritpe masyarakat yang mengenal Chairil bukan karena karyanya, melainkan karena fotonya yang karismatik.

Mungkin karena tempo lupa dengan satu hal yang tidak terpisahkan dalam diri seorang seniman Chairil Anwar. Masyarakat kita telah mengenal Chairil karena rokoknya.

Memisahkan Chairil dengan rokoknya itu mungkin saja memisahkan Che Guevara dengan cerutunya, Memisahkan Gus Dur dengan humornya, itulah identitas. ia melekat pada diri seseorang.

“AKU”

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang‘kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi.

– Chairil Anwar-

More Posts

📢 Gambar Banner Berbayar